Sabtu, 06 Februari 2010

Mesjid Institusi Pengemis

Pengalaman kita yang berakumulasi dari berbegai kegiatan-kegiatan kegamaan baik kegiatan pembangunan fisik, kegiatan peringatan dan juga acara-acara sosial telah menjadikan suatu biasa dalam budaya rumah suci bernama mesjid. Berbagai cara dan metode dilakukan, baik dari cara yang paling jadul sampai yang menggunakan metode terbaik dalam bidang presentasi dan juga media massa elektronik, maupun koran.

Mesjid sebagai tempat ibadah bagi pemeluknya telah mengalami berbagai pasang surut peranan dalam kehidupan ummat Islam. Pada zaman pertama di didirikan mesjid oleh Rasulullah mesjid di jadikan sebagai publik servis, sosio-politik, ekonomi, negara dan juga tidak terlepas sebagai pusat pendidikan dan ibadah.

Dalam beberapa perkembangan dalam dinasiti dan kerajaan mesjid menjadi sebuah intitusi yang mendepankan aspek pendidikan dan bukti keagungan sebuah peradaban berlandaskan islam. Namun siklus sejarah ini putus dan menjadikan hari ini sebahagian besar hanya menjadi publik servise untuk ibadah semata.

Ada sebuah ironi yang sangat menyakitkan dan itu adalah fakta di lapangan bahwa kalau ingin kencing dan berak gratis cukup datang ke mesjid dan mushalla. Dan juga tidak jarang menjadi penginapan bintang 1 bagi musafir yang tersesat dan juga beberapa orang yang menjadi kan mesjid sebagai tempat tinggal. Pada aspek tempat tinggal orang tersebut bisa jadi adalah pegawai mesjid, namun tidak tertutu kemungkinan adalah tunawisma dan juga pencari nafkah di kota.

Mesjid sebagai sebuah institusi pelayanan publik membutuhkan dana operasional. Dana operasional tersebut untuk gaji pegawai, biaya kebersihan, pemeliharaan, honor para khatib dan presenter agama, listrik dan air. Dana operasional ini di minta dari jamaah dengan menyediakan kotak amal yang tersedia.

Dalam beberapa penelusuran penulis dana taktis mesjid melebih kebutuhan dari dana operasional mesjid secara peridoe tertentu. Di sebuah kawasan perumahan DPR-RI di bintaro penulis mendapatkan kas mesjid melampaui 70 juta, mesjid di komplek DPR-RI sebanyak 40 juta rupiah. Dan tidak data ini bisa kita akses dalam setipa laporan pada hari jum'at dan juga laporan pada papan pengumuman.

Melihat dari laporan keuangan mesjid dari kacamata disiplin ilmu keuangan maka kinerja keuangan adalah garis biru. Mesjid mampu mencetak laba yang fantastis dengan hanya menyediakan jasa untuk publik servis ummat sholat.

Mengapa mesjid adalah institusi pengemis ada beberapa mentalitas dan budaya yang secara terbiasa kita lakukan sebagai ummat dan juga para pekuka agama. Pertama, penerjemahan tektual dari makna bersedekah yang hanya bergerak dalam cara berfikir materi. maka amat mudah untuk mengumpulkan uang dan juga bahan-bahan bangunan untuk membangun sarana fisik. Mentalitas meminta ini di amini oleh para kiyai yang rentan terhadap auto kritik kritis tentang aspek yang telah dianggap tabu dalam masyarakat. Kedua, Pengurus dalam aspek keilmuan, skill dan juga attitude tidak memeliki disiplin ilmu yang hetorogen dalam lintas ilmu pengetahuan. Ketiga. Pengaruh literatur dan cerita dan budaya yang berkembang, seperti inilah dulu (Qaaluu kama abaauna) yang dalam terminologi Alquran adalah manusia sufahaa. Keempat, Laskar purnawirawan, hampir diatas 80% mesjid di kelola oleh purnawirawan dan pensiuanan yang telah habis masa keemasan produktifitas. Memberikan efek pengembangan yang tidak koheren dengan perkembangan zaman. Kelima. Dukungan penafsiran yang tidak kritis-dialektika-kreatif terhadap nash-nash agama dan juga budaya yang ada. Keenam, Tidak berkembangnya kajian transformasi mesjid yang di komandoi oleh beberapa badan yang diakui dan menyatakan adalah pusat bagi mesjid yang ada.

itu beberpa prespektif yang menjadi latar belakang mesjid insitusi pengemis. Fakta-fakta adalah bahwa ketika mesjid telah surplus maka mesjid tidan melakukan stop untuk meminta atau mengalihkan kepada kegiatan yang memberikan value added (nilai tambah). Bagi sebahagian mesjid telah melakukan hal ini dari kelebihan uang di lakuakn transformasi sistem pengelolaan jamaah dengan menerbitkan buletin dari hasil kajian terstruktur dan itu tidak seberapa dan terdapat hanya di beberapa mesjid saja yang pernah penulis singgahi. Meminta sumbangan untuk pembangunan, kegiatan sosial keagamaan, dan juga kegiatan lainnya yang digunakan menggunakan metode terbaik dan metode klasik.

Ada sebuah fakta ironis lainnya bahwa dana surplus itu di titipkan pada sistem keuangan yang telah nyata haram. Sedangkan tetangga mesjid masih menjadi orang yang masuk sebagai asnaf yang delapan dan terjebak persoalan kemelut keuangan dengan sistem rentenir. Dimanakah peran mesjid yang menjadi solusi persoalan jamaahnya? Maka pesona dan persona mesjid telah pudar dan terhapus dari memori jamaahnya, karna mesjid hanya mampu meminta dan tidak mampu memberi solusi komprehensif.

Dalam beberapa pengalaman penulis yang bergaul di berbagai pasar tradisional, pasar modren, mesjid komplek perkampungan, mesjid persinggahan tepi jalan. Para tetangganya atau pengunjungnya sedikit banyak terlibat dalam usaha yang haram atau subhat dan ikut menyumbangkan dana untuk kegiatan pembangunan dan juga kegiatan mesjid. Maka jadilah mesjid sebuah gado-gado antara halal, haram dan subhat.

Dari ini memberikan efek mesjid kehilangan jamaahnya di beberapa solat, mesjid sebagai tempat mencari nama dan status sosial, korupsi keuangan mesjid, fitnah dan penyingkiran pengurus. Mesjid menjadi sumber penghidupan dan juga berbagai persoalan lainnya sepanjang kehidupan mesjid dan pergantian pengurus mesjid.

Terus bagaimana solusi tentang permasalahan tersebut? Apakah kita akan tetap membiarkan mesjid yang tempat mengagungkan nama Allah menjadi tempat mengemis kepada jamaah atau orang lain di jalan-jalan, sangat amat memalukan. Dalam islam memberi adalah yang terbaik baik secara personal maupun institusi. Dan yang menjadi penerima dan peminta adalah istitusi yang kita ruku dan sujud disana untuk taqarrub ilallah, Nauzubillahi minzalik

Bersambung dalam "Transformasi Mesjid" dan "Mesjid Sosial Responbility" dan "Mesjid Ekonomi Responbility", salam: Muhammad Yunus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar