Kamis, 05 September 2013

Berbagi Keuntungan dan Kerugian dalam Islamic Cashflow Quadrant

Langkah untuk dapat menjadi Islamic Investor dan Islamic Bussiner Owner adalah menghindari usaha dari ekplotasi ekonomi rente. Hal ini Allah telah jelaskan tentang meninggalkan riba dalam alquran. Riba adalah bentuk ekplotasi sepihak pemilik modal atau uang. Riba menjadi facum yang menyedot keuangan peminjam. Contoh:
Apabila seseorang meminjam uang sebesar Rp. 100.000.000,- untuk modal usaha, maka ia harus mengembalikan sesuai dengan bunga yang diberlakukan. Bila bunga 15% pertahun. Maka ia mengembalikan Rp. 100.000.000,- ditambah bunga Rp. 15.000.000,-. Bila ia tidak mampu mengembalikan maka asset yang dijaminkan disita untuk pelunasan hutang dan bunga yang berlaku.

Dalam kontek ekonomi riba/ ekonomi rente, pihak peminjam tidak mau tahu tentang apakah usaha seseorang mengalami pasang surut. Ketetapan Allah terhadap alam adalah siklus naik dan turun. Sedangkan untuk ekonomi berbagi dengan penerapan aqad (perjanjian) musyarakah akan menghasilkan perhitungan berbeda. Sedangkan pada aqad mudharabah juga menghasilkan konsekwensi berbeda.

Untuk membangun usaha dengan menjadi Islamic Investor tiada pilihan lain kecuali menerapkan aqad mudharabah atau musyarakah untuk berbagi keuntungan dan juga kerugian pada masing-masing pihak. Dalam perjanjian Islamic Cash Flow Quadran seorang akan berbagi keuntungan dan kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak.

Pada perjanjian aqad mudharabah pihak peminjam berhak mengembalikan jumlah modal yang diberikan dan juga nisbah (timbangan) bagi hasil. Persoalan bagi hasil merupakan kesepakatan bagi kedua belah pihak. Sebagai contoh bila seseorang mendapatkan untung dalam usaha sebesar Rp. 10.000.000,- dengan akad mudharabah 30:70 %. Maka pihak pemilik modal mendapatkan Rp. 3.000.000,- sedangkan pengelola usaha mendapatkan Rp. 7.000.000,-.

Sedangkan pada konteks dengan pekerja terdapat mudharabah akan mendapatkan keuntungan. Hal ini sering disebut dengan sistem komisi keagenan. Dalam hal ini seorang diukur oleh kinerja yang dicapai. Dalam kontek ini seorang penjual yang mendapatkan komisi adalah bagian dari aqad mudharabah atau musyarakah.

Dalam kontek antara pemilik usaha ada kaidah yang menjadi panduan etika dan sistem. Membayar upah sebelum keringat kering adalah sebuah keniscayaan. Kemudian menambahkan dengan sistem bonus yang mampu menjadikan orang berkinerja dengan baik dan benar.

Pola pembagian keuntungan sering diterapkan oleh Perusahaan Penjualan Langsung atau Multi level marketing. Dimana setiap orang penjual mendapatkan porsi keuntungan dengan bagian-bagian tertentu. Memang ada fatwa Majlis Ulama Indonesia yang mengharamkan MLM yang mengekploitasi level terbawah. Namun ada beberapa perusahaan yang menerapkan pola syariah bagi hasil atas penjualan.

Berbagai varian tentang musyarakah atau mudharabah sangat membantu pengusaha mendapatkan modal kerja dan investasi yang membutuhkan dana besar dalam menjalankan usaha. Beberapa hal mendasar yang menjadi kekuatan utama dalam menerapkan bagi hasil dan kerjasama. Semuanya terangkum dalam rumusan SIFAT.

Pertama: Tingkat Kepercayaan. Hal ini menilai masing-masing pihak tingkat kejujuran yang kemudian menjadi kepercayaan. Hal ini setiap individu mengaplikasikan sifat siddiq. Hal ini merupakan karakter untuk dapat melakukan perjanjian mudharabah atau musyarakah. Masing-masing individu membuat perjanjian yang sebaiknya secara tertulis untuk pedoman dalam kerjasama investasi yang saling menguntungkan.

Kedua. Istiqamah. (komitmen dan focus usaha)

Ketiga. Fathanah (kecerdasan bisnis)

Keempat Amanah (kemampuang mengelola usaha)

Kelima Tabligh (kemampuan marketing, service exelence)

Hal ini menjadi tolak ukur dalam melakukan kerjasama antara Islamic Investor dengan Islamic Bussiner Owner. Dimana masing-masing membangun sinergi dalam mendapatkan Asset (pahala) baik didunia maupun diakhirat.