Selasa, 27 Januari 2015

Menggeser Bank Keliling Cara Cepat

Keberadaan bank keliling yang dikelola orang perorang maupun memiliki badan hukum disatu sisi amat membantu kebutuhan masyarakat terutama pedagang kecil yang tidak memiliki syarat kelayakan mendapatkan modal pinjaman dari perbankan syariah, maupun perbankan konvensional berbasis riba.

Fatwa DSN Majlis Ulama Indonesia tentang bunga pinjaman menyatakan keharaman. Kemudian disusul dengan berbagai fatwa untuk mengakomodir kebutuhan lembaga keuangan halal baik bagi individu muslim maupun perusahaan yang dimiliki oleh kaum muslimin.

Sosialisasi ulama dirasa cukup, pergerakan industri keuangan syariah meroket. Perkembangan lembaga amil zakat, infak dan sedekah juga tumbuh. Hal ini menjadi indikator bagi perkembangan perekonomian ummat. Perkembangan yang mampu menjadi solusi alternatif ummat Islam unggul sebagaimana garansi Allah swt.

Keunggulan ini membutuhkan sebuah terobosan dalam mensinergikan berbagai komponen. Teruma ustad dan khatib jumát beserta DKM. Masyarakat muslim terhimpun dalam rutinitas shalat berjamaah baik ditempat tinggal maupun ditempat berdagang. Hampir setiap masjid memiliki kemampuan finansial dari infak sedekah dan pengelolaan zakat dari jamaah.

DKM Masjid berfungsi sebagai amil (pengelola profesional) yang dipercaya oleh jamaah. Langkah cepat untuk menggeser ini adalah membentuk sistem keuangan masjid menjadi model keuangan Baitul Maal Masjid. Penggunaan uang infak jamaah bukan sekedar untuk mempercantik, memperindah dan memperbesar bangunan fisik masjid. Namun lebih pada menguatkan keimanan dalam berbagai sektor kehidupan.

Beberapa DKM seperti masjid Al-Azhar, dan beberapa masjid telah mampu melakukan transformasi tata kelola keuangan menjadi kekuatan pendayagunaan mustahik dengan program kreatif dan inovatif. Namun disisi lain masih banyak masjid lain terutama yang berada dalam pusat perdagangan menjadi kekuatan ekonomi ummat.

Langkah cepat adalah melakukan sosialisasi dan simposium berkala bagi DKM Pasar. Penyelenggara sepenuhnya adalah Dewan Masjid Indonesia sebagai organisasi yang mewadahi masjid-masjid seluruh Indonesia. Langkah ini memang butuh keberanian dari pengurus DMI Pusat hingga Daerah melakukan konsolidasi dengan mengundang DKM, MUI dan organisasi keagamaan seperti Muhammadyyah dan NU.

Beberapa organisasi keagamaan telah mendirikan Baitul Maal wat Tamwil. Namun yang berkembang adalah sisi usaha pembiayaan yang menggeser Bank Keliling. Sedangkan Baitul Maal sering tidak berjalan. Hal ini terjadinya mis manajemen pendistribusian dan metode penyaluran berdasarkan data akurat dari jamaah masjid dan juga tetangga masjid.

Bila distribusi dana zakat, infak dan sedekah berdasarkan data base masjid dengan melabitkan DKM Masjid, maka menggeser Bank Keliling dapat dengan cepat. Hal ini didukung oleh kajian tematik para daí dan muballigh.

Karena ummat telah lama terbuai oleh bank keliling sebagai jawaban kebutuhan, makasaatnya Baitul Maal Masjid terintegrasi menjadi jawaban.

Semoga Allah memudahkan langkah ini ke depan, amiin.

Senin, 26 Januari 2015

Lumbuang Kaum, Nasibmu Kini?



Menggali khasanah karya para pendahulu dalam rangka mempelajari kearifan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat adalah keniscayaan. Bila tidak maka generasi selanjutnya akan kehilangan nilai-nilai kultural yang hanif. Bila  ini tidak dilakukan generasi sekarang, maka nilai-nilai yang tersimpan dalam budaya orang lain menjadi acuan dan gaya hidup.
 
Indonesia yang memiliki berbagai suku bangsa yang tersebar dari Aceh hingga Maureke. Memiliki kearifan lokal yang menjadi tatanan nilai bagi keberlangsungan generasi suku bangsa. Tata nilai dalam budaya dapat ditelusuri dari berbagai simbol yang menjadi tempat perwujudan nilai-nilai kearifan hidup dalam bersuku. Termasuk suku bangsa minang kabau yang telah melandasi falsafah kehidupan dengan Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Falsafah ini lahir dari pencarian panjang dalam meletakkan peran dan fungsi manusia berada dalam kehidupan dunia. Kebenaran yang menjadi tata nilai kehidupan berkaum, bernagari dan bermasyarakat lintas suku dan bangsa. Wujud nilai-nilai ini dimaterialkan dalam berbagai produk budaya. Dalam kazanah masyarakat minangkabau terdapat sebuah bentuk yang sampai hari ini masih bisa dilacak bernama Lumbuang Kaum.

H. Amri Darwis dalam tulisan singkat beliau menjelaskan ada 3 fungsi lumbuang kaum bagi suku diminangkabau. Pertama berfungsi sebagai Lumbuang Sitinjau Lauik yang mengakomodir untuk menjamu tamu, musafir dan lainnya. Kedua berfungsi sebagai Lumbuang Sibayau-bayau yang mengakomodir kebutuhan anak kemenakan dalam kesulitan, anak yatim, janda dan lainnya. Ketiga berfungsi sebagai Lumbuang Sipanenggang Litak yang berfungsi untuk kebutuhan sehari-hari bagi kaum dalam satu rumah gadang.

Tiga fungsi utama lumbuang kaum menjadikan anak kemenakan dari suku memiliki ketahanan sosial dan ekonomi.Ketahanan sosial ini menjadikan generasi kaum tidak kehilangan nilai bersaudara. Ada tenggang rasa antara masing-masing dari mamak kemenakan, dari kemenakan kepada mamak. Dari bundo kepada anak dunsanak dan sebaliknya. Model ini menjadi hubungan kekerabatan menjadi harmonis dan ajeg.
Sumber utama dari pendapatan bagi lumbuang kaum berasal dari harta kaum yang dikelola oleh atau disubkontrakkan dengan urang sumando. Pola pengelolaan mengikuti kaidah bagi hasil dari pengelolaan harta kaum. Setiap kaum memiliki minimal sawah pergiliran yang didistribusikan berdasarkan jumlah anak perempuan satu niniak. Kemudian bersumber dari ladang yang dikelola dengan sistem bagi hasil berupa tanaman tua, muda. Dan juga bersumber dari hasil pengelolaan harta lain. Pada masa dahulu bisa berasal dari penyewaan kerbau, atau pengembalaan binatang peliharaan bernilai ekonomi.

Semua sumber ini adalah bagian yang disisihkan, kemudian diletakkan dalam lumbung bagi hasil sawah dan uang dari penjualan hasil ladang dan pendapatan lain. Penyimpanan dan pengelolaan dikelola oleh perempuan yang dituakan atau bundo kanduang. Dalam sisi pengelolaan tunduk dalam hasil musyawarah niniak mamak, urang sumando dan seluruh anak kemenkan. Sering dinamakan undang-undang kaum. Yang memiliki fungsi mengatur dan mengelola seluruh harta kekayaan kaum.

Apakah lumbuang kaum ini masih ada pada masing-masing kaum? Jawaban realitas dilapangan saat ini secara bentuk fisik lumbuang kaum sulit untuk ditemukan. Karena hal ini berhubungan dengan keberadaan rumah gadang kaum. Bila rumah gadang kaum masih terpelihara dan dihuni, maka keberadaan lumbuang kaum masih ada. Namun bila rumah gadang kaum tidak terpelihara atau telah ditinggalkan dalam waktu lama, biasanya lumbuang kaum adalah hal pertama yang rusak dan tidak memiliki fungsi sebagai bagian integralkan sebuah kaum.

Tidak sedikit dari lumbuang kaum secara keberadaannya terjual berupa lumbuang utuh, maupun kayu dari lumbuang. Apa sebab hal ini terjadi? Kualitas kayu untuk pembuatan lumbuang adalah kayu yang memiliki kualitas ketahanan dalam berbagai bentuk cuaca. Sedangkan dijual secara utuh adalah kesalahan anak kemenakan yang tergiur uang penawaran dari kolektor. Maka generasi selanjutnya yang tidak pernah melihat dan merasakan bagaimana keberadaan lumbuang kaum berfungsi.

Hasilnya menjadikan generasi muda kaum saat ini kehilangan pedoman, baik secara fisik kebendaan, maupun fungsi dari lumbuang kaum. Termasuk adalah anak kemenakan yang terlahir secara fisik dan dibesarkan diranah rantau. Hal ini bisa ditanyakan bagi generasi muda kaum dari anak kemenakan suku dari minagkabau tentang pengetahuan dasar bagaimana mengelola harta pusaka kaum, tentang lumbuang dan makna yang tersimpan didalamnya. Karna setiap bagunan dari rumah gadang dan lumbuang, dan seluruh hasil karya budaya minang kabau disimpan dalam bahasa sastra minang kabau, baik berupa gurindam, pepatah, sajak atau kaba.

Secara akademik dan tulisan teramat jarang dapat ditemui. Hal ini disebabkan beberapa generasi terpelajar dari anak kemenakan suku minangkabau lupa melakukan rekam jejak penulisan. Baik oleh niniak mamak dua generasi diatas maupun niniak mamak yang sekarang. Ditambah dengan tradisi urang minang berbudaya tutur secara tidak langsung. Pola komunikasi menggunakan tamsil, analogi dan juga kisah dalam pepatah petitih mengharuskan anak kemenakan memiliki kemampun berfikir untuk menerjemahkan pepatah dan semua falsafah yang ada.

Menggala falsafah dan fungsi dari rumah gadang dengan lumbuang kaum membutuhkan keberanian dan kesungguhan dari setiap anak kemenakan kaum. Keberanian untuk mempertanyakan keberadaan lumbuang secara fisik dan juga fungsinya terdahap niniak mamak yang masih hidup. Baik niniak mamak kaum, maupun niniak mamak nagari yakni datuak pucuak dari kaum asal sebuah nagari.

Penggalian secara kademik dan dituliskan secara terperinci akan melahirkan sebuah sistem yang dapat diterapkan dalam masa kini. Dimana hasil kajian ini tidak hanya sekedar menjadi bacaan, namun bisa menjadi sebuah kebijakan merekatkan kaum yang keberadaan masing-masing telah terpencar diberbagai pelosok negri. Hal ini berasal dari pola merantau anak bujang dari kaum. Hal ini dijelaskan secara gamblang oleh Sosiolog Mukhtar Naim dan beberapa cendikiawan minang yang menulis roman, dan karya lainnya.
Secara fisik untuk membangun lumbuang membutuhkan dana yang besar termasuk dengan melakukan pemugaran atau pembangunan kembali rumah gadang. Hal ini akan membebani keuangan kaum secara keseluruhan. Namun bisa dikembangkan secara sistem dan metode dalam rentang kehidupan masyarakat saat ini.

Langkah yang mesti dilakukan oleh niniak mamak dan anak kemenakan dalam mengembalikan lumbuang kaum adalah:
  1. Melakukan identifikasi harta kaum suku yang masih ada saat ini. Dimana letak keberadaan, status benda, apakah tergadai sebelumnya, atau memang telah dijual secara permanen oleh generasi niniak mamak sebelumnya. Identifikasi ini membutuhkan kejujuran dari masing-masing belahan kaum dan penelusuran sampai 2 generasi dengan kaum suku tetangga.
  2. Musyawarah kaum, niniak mamak atau anak kemenakan melakukan pertemuan yang memiliki agenda melakukan pembedahan dari persoalan demi persoalan kaum dan memecahkan permasalahan. Hal ini menjadi solusi yang diundangkan dalam aturan kaum secara tertulis. Kemudian disosialisasikan secara tertulis dan tutur. Hal ini berguna untuk tidak terjadi kehilangan pedoman bagi generasi selanjutnya.
  3. Pengelolaan asset kaum secara modren. Beberapa solusi dapat digunakan adalah pendirian Yayasan kaum yang berfungsi sebagai manajemen pengelolaan harta kaum sekaligus berfungsi sebagai lumbuang kaum yang mengakamodir kebutuhan ketahanan sosial dan ekonomi bagi anggota kaum yang mengalami ujian kerawanan sosial dan ekonomi.
  4. Perluasan harta kaum dalam bentuk investasi asset yang mendatangkan pendapatan halal dan sah secara hukum untuk mengkover dan mengantisipasi kerawanan sosial dan ekonomi bagi anak kemenakan dimasa depan.
  5. Evaluasi secara transparan dan akuntabilitas tentang pengelolaan assett kaum baik yang bergerak maupun tidak kepada pengelola secara langsung atau disubkontrakkan kepada orang lain dalam pengelolaan. Hal ini berguna untuk mengambil kebijakan secara baik untuk asset yang ada dan mengembalikan asset kaum yang tergadai sebelumnya.
Semua ini bisa dijalankan dan mengembalikan lumbuang rumah gadang pada masa kini, dengan beberapa catatan bagi anak kemenakan yang akan menjadi niniak mamak baik bagi kaum, maupun niniak mamak nagari yang menjaga kekayaan tanah ulayat nagari, suku dan kaum. Kenapa? Hal ini akan terjadi konflik hukum, dan peraturan dari negara tempat beradanya suku minangkabau bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan republik Indonesia. Dimana aturan terbaru tentang hak guna usaha yang bisa diperpanjang selama 90 tahun. Dalam arti kata ada 3 generasi yang akan kehilangan hak pengelolaan atas asset kekayaan kaum atau nagari.

Tanah dan kekayaan diatas dan dibawahnya bagi kaum adalah ketahanan asal dan generasi anak kemenakan. Pengelolaan dalam realitas saat ini membutuhkan keterampilan manajerial, ekonomi dan transformasi dalam usaha yang relevan untuk mewujudkan ketahanan sosial dan ekonomi. Tidak lagi menggantungkan penyelesaian persoalan kerawanan sosial, ketiadaan sumber daya ekonomi untuk mengangkat harkat martabat anak yatim dari kaum, janda dan juga yang berada dalam garis kemiskinan ekonomi, dan ketiadaan pendidikan generasi kaum.

Karena kehilangan satu generasi dari kaum, akan menciptakan efek bola salju kehilangan generasi selanjutnya. Maka akan melemahkan sendi bersuku, bernagari dan secara otomatis menambah persoalan bernegara. Maka untuk mengulang sejarah gemilang anak kemenakan kaum seperti Buya Hamka, Bung Hatta, Syahril, H. Agus Salim dan sederet cendikiawan dan tokoh dari minangkabau hanya menjadi mimpi yang bunga angan-angan niniak mamak dan urang sumando diranah minang saat ini, baik secara kaum, nagari maupun ranah minang secara keseluruhan dikampuang maupun dirantau.