Menggali
khasanah karya para pendahulu dalam rangka mempelajari kearifan dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat adalah keniscayaan. Bila tidak maka
generasi selanjutnya akan kehilangan nilai-nilai kultural yang hanif.
Bila ini tidak dilakukan generasi sekarang, maka nilai-nilai yang
tersimpan dalam budaya orang lain menjadi acuan dan gaya hidup.
Indonesia
yang memiliki berbagai suku bangsa yang tersebar dari Aceh hingga Maureke.
Memiliki kearifan lokal yang menjadi tatanan nilai bagi keberlangsungan
generasi suku bangsa. Tata nilai dalam budaya dapat ditelusuri dari berbagai
simbol yang menjadi tempat perwujudan nilai-nilai kearifan hidup dalam bersuku.
Termasuk suku bangsa minang kabau yang telah melandasi falsafah kehidupan
dengan Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Falsafah ini
lahir dari pencarian panjang dalam meletakkan peran dan fungsi manusia berada
dalam kehidupan dunia. Kebenaran yang menjadi tata nilai kehidupan berkaum,
bernagari dan bermasyarakat lintas suku dan bangsa. Wujud nilai-nilai ini
dimaterialkan dalam berbagai produk budaya. Dalam kazanah masyarakat
minangkabau terdapat sebuah bentuk yang sampai hari ini masih bisa dilacak
bernama Lumbuang Kaum.
H. Amri
Darwis dalam tulisan singkat beliau menjelaskan ada 3 fungsi lumbuang kaum bagi
suku diminangkabau. Pertama berfungsi sebagai Lumbuang Sitinjau Lauik yang
mengakomodir untuk menjamu tamu, musafir dan lainnya. Kedua berfungsi sebagai
Lumbuang Sibayau-bayau yang mengakomodir kebutuhan anak kemenakan dalam
kesulitan, anak yatim, janda dan lainnya. Ketiga berfungsi sebagai Lumbuang
Sipanenggang Litak yang berfungsi untuk kebutuhan sehari-hari bagi kaum dalam
satu rumah gadang.
Tiga fungsi
utama lumbuang kaum menjadikan anak kemenakan dari suku memiliki ketahanan
sosial dan ekonomi.Ketahanan sosial ini menjadikan generasi kaum tidak
kehilangan nilai bersaudara. Ada tenggang rasa antara masing-masing dari mamak
kemenakan, dari kemenakan kepada mamak. Dari bundo kepada anak dunsanak dan sebaliknya.
Model ini menjadi hubungan kekerabatan menjadi harmonis dan ajeg.
Sumber utama
dari pendapatan bagi lumbuang kaum berasal dari harta kaum yang dikelola oleh
atau disubkontrakkan dengan urang sumando. Pola pengelolaan mengikuti kaidah
bagi hasil dari pengelolaan harta kaum. Setiap kaum memiliki minimal sawah
pergiliran yang didistribusikan berdasarkan jumlah anak perempuan satu niniak.
Kemudian bersumber dari ladang yang dikelola dengan sistem bagi hasil berupa
tanaman tua, muda. Dan juga bersumber dari hasil pengelolaan harta lain. Pada
masa dahulu bisa berasal dari penyewaan kerbau, atau pengembalaan binatang
peliharaan bernilai ekonomi.
Semua sumber
ini adalah bagian yang disisihkan, kemudian diletakkan dalam lumbung bagi hasil
sawah dan uang dari penjualan hasil ladang dan pendapatan lain. Penyimpanan dan
pengelolaan dikelola oleh perempuan yang dituakan atau bundo kanduang. Dalam
sisi pengelolaan tunduk dalam hasil musyawarah niniak mamak, urang sumando dan
seluruh anak kemenkan. Sering dinamakan undang-undang kaum. Yang memiliki
fungsi mengatur dan mengelola seluruh harta kekayaan kaum.
Apakah
lumbuang kaum ini masih ada pada masing-masing kaum? Jawaban realitas
dilapangan saat ini secara bentuk fisik lumbuang kaum sulit untuk ditemukan.
Karena hal ini berhubungan dengan keberadaan rumah gadang kaum. Bila rumah
gadang kaum masih terpelihara dan dihuni, maka keberadaan lumbuang kaum masih
ada. Namun bila rumah gadang kaum tidak terpelihara atau telah ditinggalkan
dalam waktu lama, biasanya lumbuang kaum adalah hal pertama yang rusak dan
tidak memiliki fungsi sebagai bagian integralkan sebuah kaum.
Tidak
sedikit dari lumbuang kaum secara keberadaannya terjual berupa lumbuang utuh,
maupun kayu dari lumbuang. Apa sebab hal ini terjadi? Kualitas kayu untuk
pembuatan lumbuang adalah kayu yang memiliki kualitas ketahanan dalam berbagai
bentuk cuaca. Sedangkan dijual secara utuh adalah kesalahan anak kemenakan yang
tergiur uang penawaran dari kolektor. Maka generasi selanjutnya yang tidak
pernah melihat dan merasakan bagaimana keberadaan lumbuang kaum berfungsi.
Hasilnya
menjadikan generasi muda kaum saat ini kehilangan pedoman, baik secara fisik
kebendaan, maupun fungsi dari lumbuang kaum. Termasuk adalah anak kemenakan
yang terlahir secara fisik dan dibesarkan diranah rantau. Hal ini bisa
ditanyakan bagi generasi muda kaum dari anak kemenakan suku dari minagkabau
tentang pengetahuan dasar bagaimana mengelola harta pusaka kaum, tentang
lumbuang dan makna yang tersimpan didalamnya. Karna setiap bagunan dari rumah
gadang dan lumbuang, dan seluruh hasil karya budaya minang kabau disimpan dalam
bahasa sastra minang kabau, baik berupa gurindam, pepatah, sajak atau kaba.
Secara
akademik dan tulisan teramat jarang dapat ditemui. Hal ini disebabkan beberapa
generasi terpelajar dari anak kemenakan suku minangkabau lupa melakukan rekam
jejak penulisan. Baik oleh niniak mamak dua generasi diatas maupun niniak mamak
yang sekarang. Ditambah dengan tradisi urang minang berbudaya tutur secara
tidak langsung. Pola komunikasi menggunakan tamsil, analogi dan juga kisah
dalam pepatah petitih mengharuskan anak kemenakan memiliki kemampun berfikir
untuk menerjemahkan pepatah dan semua falsafah yang ada.
Menggala
falsafah dan fungsi dari rumah gadang dengan lumbuang kaum membutuhkan
keberanian dan kesungguhan dari setiap anak kemenakan kaum. Keberanian untuk
mempertanyakan keberadaan lumbuang secara fisik dan juga fungsinya terdahap
niniak mamak yang masih hidup. Baik niniak mamak kaum, maupun niniak mamak
nagari yakni datuak pucuak dari kaum asal sebuah nagari.
Penggalian
secara kademik dan dituliskan secara terperinci akan melahirkan sebuah sistem
yang dapat diterapkan dalam masa kini. Dimana hasil kajian ini tidak hanya
sekedar menjadi bacaan, namun bisa menjadi sebuah kebijakan merekatkan kaum
yang keberadaan masing-masing telah terpencar diberbagai pelosok negri. Hal ini
berasal dari pola merantau anak bujang dari kaum. Hal ini dijelaskan secara
gamblang oleh Sosiolog Mukhtar Naim dan beberapa cendikiawan minang yang menulis
roman, dan karya lainnya.
Secara fisik
untuk membangun lumbuang membutuhkan dana yang besar termasuk dengan melakukan
pemugaran atau pembangunan kembali rumah gadang. Hal ini akan membebani
keuangan kaum secara keseluruhan. Namun bisa dikembangkan secara sistem dan
metode dalam rentang kehidupan masyarakat saat ini.
Langkah yang
mesti dilakukan oleh niniak mamak dan anak kemenakan dalam mengembalikan
lumbuang kaum adalah:
- Melakukan identifikasi harta kaum suku yang masih ada saat ini. Dimana letak keberadaan, status benda, apakah tergadai sebelumnya, atau memang telah dijual secara permanen oleh generasi niniak mamak sebelumnya. Identifikasi ini membutuhkan kejujuran dari masing-masing belahan kaum dan penelusuran sampai 2 generasi dengan kaum suku tetangga.
- Musyawarah kaum, niniak mamak atau anak kemenakan melakukan pertemuan yang memiliki agenda melakukan pembedahan dari persoalan demi persoalan kaum dan memecahkan permasalahan. Hal ini menjadi solusi yang diundangkan dalam aturan kaum secara tertulis. Kemudian disosialisasikan secara tertulis dan tutur. Hal ini berguna untuk tidak terjadi kehilangan pedoman bagi generasi selanjutnya.
- Pengelolaan asset kaum secara modren. Beberapa solusi dapat digunakan adalah pendirian Yayasan kaum yang berfungsi sebagai manajemen pengelolaan harta kaum sekaligus berfungsi sebagai lumbuang kaum yang mengakamodir kebutuhan ketahanan sosial dan ekonomi bagi anggota kaum yang mengalami ujian kerawanan sosial dan ekonomi.
- Perluasan harta kaum dalam bentuk investasi asset yang mendatangkan pendapatan halal dan sah secara hukum untuk mengkover dan mengantisipasi kerawanan sosial dan ekonomi bagi anak kemenakan dimasa depan.
- Evaluasi secara transparan dan akuntabilitas tentang pengelolaan assett kaum baik yang bergerak maupun tidak kepada pengelola secara langsung atau disubkontrakkan kepada orang lain dalam pengelolaan. Hal ini berguna untuk mengambil kebijakan secara baik untuk asset yang ada dan mengembalikan asset kaum yang tergadai sebelumnya.
Semua ini
bisa dijalankan dan mengembalikan lumbuang rumah gadang pada masa kini, dengan
beberapa catatan bagi anak kemenakan yang akan menjadi niniak mamak baik bagi
kaum, maupun niniak mamak nagari yang menjaga kekayaan tanah ulayat nagari,
suku dan kaum. Kenapa? Hal ini akan terjadi konflik hukum, dan peraturan dari
negara tempat beradanya suku minangkabau bagian yang tidak terpisahkan dari
negara kesatuan republik Indonesia. Dimana aturan terbaru tentang hak guna
usaha yang bisa diperpanjang selama 90 tahun. Dalam arti kata ada 3 generasi
yang akan kehilangan hak pengelolaan atas asset kekayaan kaum atau nagari.
Tanah dan
kekayaan diatas dan dibawahnya bagi kaum adalah ketahanan asal dan generasi
anak kemenakan. Pengelolaan dalam realitas saat ini membutuhkan keterampilan
manajerial, ekonomi dan transformasi dalam usaha yang relevan untuk mewujudkan
ketahanan sosial dan ekonomi. Tidak lagi menggantungkan penyelesaian persoalan
kerawanan sosial, ketiadaan sumber daya ekonomi untuk mengangkat harkat
martabat anak yatim dari kaum, janda dan juga yang berada dalam garis
kemiskinan ekonomi, dan ketiadaan pendidikan generasi kaum.
Karena
kehilangan satu generasi dari kaum, akan menciptakan efek bola salju kehilangan
generasi selanjutnya. Maka akan melemahkan sendi bersuku, bernagari dan secara otomatis
menambah persoalan bernegara. Maka untuk mengulang sejarah gemilang anak
kemenakan kaum seperti Buya Hamka, Bung Hatta, Syahril, H. Agus Salim dan
sederet cendikiawan dan tokoh dari minangkabau hanya menjadi mimpi yang bunga
angan-angan niniak mamak dan urang sumando diranah minang saat ini, baik secara
kaum, nagari maupun ranah minang secara keseluruhan dikampuang maupun dirantau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar