Oleh: KH Didin Hafidhuddin,
Ditengah probkematika kemiskinan umat dan ekonomi bansa sekarang ini, seharunsya zakat bisa dijadikan instrument yang bisa menjadi solusi dan sustainable. ZAkat sebagai instrument pembangunan perekonomian dan penentasan kemiskinan umat, emmilik banyak keunggulan dibandukan instrument fikal konvensional yang kini telah ada (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat sebagai instrument pembangunan ekonomi Umat di Daerah).
Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (Q.S Attaubah;60)Zakat hanya diperuntukkan untuk asnaf yang delapan: orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil, muallaf, budak, orang-orang yang berutang, jihad fi sabilillah dan ibnu sabil. Selain itu tidak halal menerima zakat.
Kedua, Asnaf delapan mustahik zakat tersebut diatas selalu dalam bentuk jama’ (plural). Ini mengisyarakatkan bahw zakat itu haru dirasakan manfaatnya oleh sebanyak-banyak mustahik yang ada, misalnya sebanyak-banyak fakir miskin yang ada di suatu daerah.
Ketiga, zakat memiliki persentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur oleh syariat. Penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi, tetapi akan menciptakan transparansi public serta memberikan kepastian usaha.
Keempat, Zakat memiliki persentase berbeda dan mengizinkan keringan bagi usaha yang memiliki tingkat produksi lebih tinggi.
Kelima, zakat dikenakan pada basis yang lebih luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. (Q.S albaqarah:267 dan Q.S Adz-dzariyat (51): 19)
Zakat harus melalui amil zakat.
Pada zaman rasulullah dan para sahabatnya, hamper tidak pernah zakat diserahkan langsung dari muzakki kepad musatahik, kecuali infak. Zakat selalu diambil atau diserahkanmelalui amil Zakat. Amil zakatlah yang mendistribusikannya berdasarkan kebuthan dan skala prioritas.
HU Republika, 16 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar